Wednesday 1 December 2010

Abdi neda, ibu ....

Ini adalah kisah saat saya masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Suatu cerita yang menunjukkan bahwa lingkungan memberikan dampak yang lebih besar daripada pelajaran di sekolah. Mungkin detailnya tidak bisa saya ingat karena saat itu saya masih sangat belia. Tapi intisarinya masih bisa saya sampaikan di sini.

Sewaktu duduk di kelas satu sekolah dasar, semua siswa mendapatkan kewajiban untuk belajar bahasa daerah. Alhasil kami semua mendapatkan mata pelajaran bahasa daerah sesuai dengan lokasi sekolah kami berada, yaitu Bahasa Sunda. Minggu-minggu pun dilalui tanpa melewatkan tatap muka dengan guru Bahasa Sunda kami di kelas. Hingga tiba saatnya untuk mengevaluasi hasil belajar kami dengan diadakan ulangan untuk setiap mata pelajaran, ya, termasuk mata pelajaran Bahasa Sunda ini.

Tibalah saat kami menghadapi soal-soal ulangan mata pelajaran Bahasa Sunda. Saya baca satu per satu soal-soal yang ada pada lembaran soal itu. Kebanyakan hanyalah berupa isian pendek, maklum, namanya juga soal ulangan untuk siswa kelas satu sekolah dasar. Perintahnya rata-rata menyuruh untuk melengkapi kalimat-kalimat yang terpotong, salah satunya :
Abdi neda, ibu ...

Sesaat setelah saya membaca soal itu, saya langsung menuliskan apa yang terlintas dalam benak saya. Ya, karena saya pikir soal itu sangat mudah sekali.

Dalam bahasa daerah memang seringkali ada tingkatan yang berbeda-beda dari penggunaan kata. Sehingga perkataan yang ditujukan untuk teman sebaya akan berbeda dengan perkataan yang ditujukan untuk orang yang lebih tua. Nah, begitu pula untuk percakapan dalam bahasa Sunda.

Waktu pun berlalu, hingga tiba saatnya hasil ulangan mata pelajaran Bahasa Sunda kami dibagikan. Saya sangat terkejut melihat lembaran jawaban saya. Saya heran, mengapa soal yang saya anggap mudah itu dicoret dan dinyatakan salah oleh guru saya. Sedih rasanya, namun kesedihan itu tidak saya tunjukan di sekolah.

Setibanya di rumah, saya menceritakan mengenai hasil ulangan saya itu, terutama mengenai soal yang mudah tersebut kepada seluruh penghuni rumah. Namun apa yang saya dapati. Mereka semua malah menertawakan saya, karena yang saya tulis di kertas jawabannya adalah
Abdi neda, ibu dahar

Sudah sewajarnya kalau saya mengisikan kata tersebut di kertas jawaban saya. Ketika itu Saya sering mendengar kata itu ditujukan untuk mbah kakung (sebutan untuk kakek dalam bahasa jawa-red) ketika sedang ditawari makan. Jadi yang ada dalam pikiran saya ketika itu ya kata itulah yang benar sebagai jawaban. Padahal yang sehari-hari saya dengar itu adalah bahasa Jawa, bukan bahasa Sunda.

Iya, dalam bahasa Jawa, kata 'dahar' memang ditujukan untuk orang yang lebih tua, sedangkan dalam bahasa Sunda, kata 'dahar' justru merupakan bahasa yang kasar, bahkan tidak baik dipakai untuk teman sebaya sekalipun. Jadi, karena yang saya ikuti adalah mata pelajaran Bahasa Sunda, jawaban tersebut menjadi tidak tepat.

[masih banyak kata yang memiliki kesamaan lafal dan penulisan namun berbeda maknanya dalam berbagai bahasa, ini hanya salah satu contoh saja. tidak ada maksud membeda-bedakan, karena semua memiliki keunikan masing-masing]

4 comments:

  1. Haha...ko bisa ya byk kata yg kbalik2 penggunaannya di antara 2 bahasa itu. apa ada hubungannya dgn sejarah panjang hubungan jawa-sunda (perang bubat)?

    ReplyDelete
  2. mungkin perlu juga ya kita tahu bagaimana sejarah terbentuknya bahasa-bahasa itu, sepertinya akan menarik. mmh.. perang bubat ya.. haahaa, kemampuan saya mengingat sejarah tidak terlalu baik, jadi tidak bisa berkomentar apapun nih..

    ReplyDelete
  3. mmhh....jadi inget waktu kelas 4 SD, itu juga pernah dibahas oleh my english teacher..

    ReplyDelete

Just let me know that there is a comment here,,