Friday 4 March 2011

Medali dari Bali

Orang bilang, paling mudah mencari rekan ya dengan orang yang sudah dikenal dan mengenal kita. Barangkali pepatah inilah yang mendorongnya mengajak saya bergabung dalam tim untuk ikut serta di Program Kreatifitas Mahasiswa 2010 yang diselenggarakan oleh Dikti. Dia adalah kakak tingkat di jurusan. Dia juga menerima beastudi berasrama, sama seperti saya. Eits, tentu tidak satu asrama karena beastudi ini menyediakan asrama bagi putra dan putri secara terpisah. Namun kegiatan yang diselenggarakan seringkali merupakan kegiatan global sehingga diikuti oleh penghuni kedua asrama. Ya, mungkin karena relasi itu dia mengajak saya menggenapkan timnya.

Tanpa menghabiskan tenaga untuk berpikir panjang, saya menyanggupi untuk bergabung. Yang ada dalam pikiran saya waktu itu hanyalah saya sedang disodori kesempatan untuk mengikuti suatu kompetisi, jadi mengapa tidak dimanfaatkan. Hari perekrutan pun berlalu tanpa sempat saya bertanya-tanya lebih jauh mengenai kompetisi itu dan anggota tim yang lain.

Dalam pengajuan proposal, saya tidak banyak membantu, bahkan tepatnya tidak membantu apapun. Anggota macam apa saya ini. Tapi apa mau dikata, memang itulah yang terjadi waktu itu. Karena waktu pengumpulan terlampau dekat dan tidak ada kesempatan saya ikut berkumpul bersama mereka. Nasib jadi satu-satunya perempuan dalam tim memang begini. (Mungkin) Mereka hanya punya waktu berkumpul larut malam, saya jadi hanya bisa berdiam diri saja.

Detik-detik begitu cepat berlalu. Hari berganti hari. Tibalah saat pengumuman proposal yang akan didanai. Sebagai pihak yang tidak berkontribusi apapun pada pengajuan proposal, saya tidak bisa menaruh perasaan cemas ataupun tidak peduli. Yang saya harapkan hanyalah suatu kejelasan, lolos atau tidak.

Ternyata proposal kami masuk dalam daftar yang akan didanai. Ketika itu saya malah jadi bingung, haruskah saya merasa senang atau bagaimana karena saya teringat akan topik proposal yang tim kami ajukan. Ya, saya mengetahui topik itu bahkan jauh setelah hari perekrutan itu. Tidak baik rasanya jika saya mundur dari keanggotaan hanya karena topik itu. Memang, langkah yang saya ambil saat setuju untuk turut bergabung adalah langkah yang tidak dipikirkan secara jauh, bahkan tidak ada perhitungan apapun saat pengambilan keputusan itu. Tapi kini saya tidak menyesali tindakan ceroboh saya waktu itu. Karena di sanalah semua itu bermula.

Pendanaan proposal berangsur-angsur cair. Tanggung jawab untuk menjalankan proposal semakin besar. Meski menyadari itu, gairah saya tidak terlalu besar dalam menjalankannya. Itu memang mulanya. Mungkin karena energi aktivasinya yang terlampau besar. Namun tenggat waktu yang semakin mendekat memaksa kami semua, terutama saya, untuk lebih serius dalam menjalankannya.

Berbekal sedikit pengetahuan praktis mengenai rangkaian elektronika, saya turut mengoprek rangkaian dari alat kami. (Maklum, sejauh ini yang saya pelajari baru sekedar teori di atas kertas saja). Dengan agak sok tahu, saya pun memberi komentar di sana-sini. Tentu itu semua saya lakukan untuk memberi kontribusi terbaik yang bisa saya berikan. Beberapa kali, kami berkonsultasi dengan dosen pembimbing berkenaan dengan rangkaian yang kami buat.

Hingga waktu monitoring dan evaluasi tiba (yaitu sekitar satu bulan sebelum penilaian akhir) alat yang kami buat masih jauh dari kata selesai. Memang secara sederhana alat kami sudah berfungsi, namun masih belum sesuai dengan tujuan dari proposal kami. Berbekal dengan casing yang dibuat secara dadakan, kami pun bersiap menghadap juri dalam monitoring dan evaluasi itu.

Komentar yang paling saya ingat dari juri saat monev adalah “Bagus ya alatnya sudah dapat berfungsi, tapi kok penampilannya serem sekali ya? Apa iya ada yang mau pakai kalau tampilannya seperti itu? Jangan-jangan malah takut duluan lagi. Gimana?” Saya merasa sangat gugup ditodong dengan pertanyaan seperti itu. Apalagi desain casing adalah buatan saya, jadi seakan-akan semua itu adalah tanggung jawab saya. Beruntung memiliki rekan satu tim seperti mereka. Bukan melimpahkan pertanyaan tersebut pada saya sebagai sang pembuat desain, tapi justru berusaha memberikan penjelasan bahwa ini baru tahap percobaan, masih akan terus dikembangkan, begitu pula soal casing-nya.

Melihat tim lain melakukan presentasi saat monitoring dan evaluasi, saya merasa nyali saya menciut. Progress mereka tampak lebih baik. Performanya pun begitu meyakinkan. Tidak ada hal yang bisa saya banggakan. Saya hanya bisa berharap hasil akhir nanti memang yang terbaik bagi tim kami.

Setelah melalui monitoring dan evaluasi, pekerjaan kami tidak selesai sampai di situ, masih banyak hal yang harus dibenahi, terutama dari segi kegunaan alat dan pengemasan. Perjuangan di hari-hari terakhir begitu berkesan. Segala bentuk emosi tertumpah di sini. Semangat. Marah. Kesal. Penasaran. Semuanya bercampur aduk. Hanya ada satu hal yang tidak ada dalam diri saya waktu itu (entah untuk anggota tim yang lain), yaitu ambisi. Ya, dalam pengerjaan pelaksanaan proposal itu saya sama sekali tidak memiliki ambisi apa pun. Tidak untuk menjadi pemenang atau apa pun. Yang terpikirkan hanyalah bagaimana semua ini harus segera berakhir.

Akhirnya laporan akhir pun dikirimkan. Meski saat itu kerja sama dengan mitra belum terlaksana benar. Ya, saya lupa mengatakan bahwa PKM yang kami ikuti adalah PKM bidang Penerapan Teknologi yang keberjalanannya harus bekerja sama dengan mitra. Jarak kami dengan tempat mitra memang menjadi sedikit kendala. Tempat mitra berada memang terlampau jauh, sehingga kami tidak bisa sering-sering berkunjung ke sana.

Berita yang mengejutkan saya baca dari sebuah pesan singkat yang saya terima. Meski tidak mengharapkannya, ternyata saya merasa senang memiliki kesempatan untuk menginjakkan kaki di pulau dewata, tempat PIMNAS XXIII di laksanakan. Ya, tim kami lolos ke tahap akhir yang bergengsi ini. Dengan ini, pekerjaan kami jadi belum selesai. Kami jadi harus mempercepat waktu kunjungan kami ke tempat mitra untuk serah terima alat, juga mempersiapkan presentasi dan poster untuk dipamerkan.

Hari keberangkatan kami begitu dekat, akhirnya kami memutuskan untuk membagi-bagi tugas. Para pria pergi ke tempat mitra untuk menyelesaikan hubungan kerja sama, sedangkan saya tetap berdiam di Bandung untuk menyelesaikan pembuatan poster dan presentasi.

Pembagian yang baik, apalagi setelah tahu, di tempat mitra mereka (para laki-laki) bepergian hanya dengan satu motor untuk tiga orang karena tidak ada lagi kendaraan. Kalau saya ikut, tidak tahulah apa jadinya.

Keberangkatan saya ke Bali adalah suatu pengalaman yang begitu berkesan, selain berkesempatan mengikuti ajang kompetisi tingkat nasional, saya pun dapat pengalaman pertama menjadi penumpang pesawat terbang. Rasanya begitu menyenangkan. Apalagi mendapat teman-teman seperjalanan yang begitu ramah. Kebersamaan kami yang hanya lima hari saja dapat membuat kami lebih mengenal satu sama lain.


Pesawat yang telah mengantarkan kami ke Pulau Dewata
(Lokasi : Bandara Ngurah Rai, Bali)

Bersama Maskot PIMNAS XXIII

Berkumpulnya peserta dari berbagai daerah pun ternyata menjadi kesempatan bagi saya untuk berkumpul dengan sesama penerima beastudi. Kami yang berasal dari kota yang berbeda merasa dipersaudarakan dengan beastudi ini. Sehingga pertemuan kami di sana begitu membahagiakan. Rasanya senang sekaligus bangga memiliki rekan seperjuangan seperti mereka. Latar belakang kami yang tidak jauh berbeda menjadikan kami bisa saling memahami dan memberikan dorongan.

Tibalah saat presentasi. Kami dikelompokkan berdasarkan bidang, lalu dibagi menjadi tiga atau empat kelas. Jadilah dalam satu kelas terdiri dari sekitar dua puluh tim yang akan mempresentasikan jerih payahnya.

Hari pertama presentasi. Persiapan yang minim dan briefing singkat yang kami lakukan saat jeda istirahat siang ternyata modal kami presentasi di sore harinya. Segalanya begitu mendadak, bahkan kami belum sempat latihan satu kali pun, karena ternyata sebelum istirahat sore, nomor tim kami terpanggil untuk melakukan presentasi. Tidak ada kuasa untuk menolak, semua itu hanya bergantung dari hasil kocokan saja. Apa boleh buat, kami harus maju, berbekal persiapan seperti apa pun.

Pembukaan. Yang saya ingat hanyalah jawaban dari salah seorang kakak tingkat dari tim lain saat saya bertanya padanya, kata-kata apa yang bagus ya untuk pembukaan presentasi kami. Karena itu, jawabannyalah yang terlontar dari bibir saya.

“Apakah ada hadirin di sini yang belum disunat?”

Spontan suara penonton menjadi riuh rendah. Semua orang berebut memberi komentar dan berbisik pada teman-teman yang duduk di dekatnya. Kontan saya pun jadi bingung, hendak meneruskan seperti apa. Semenit kemudian saya berhasil menguasai diri saya dan mulai berbicara layaknya sales yang menawarkan barang dagangannya. Nampak dari mata penonton tatapan-tatapan penasaran. Sungguh, itu sangat membuat gugup saya bertambah-tambah. Di saat saya kebingungan harus mengatakan apalagi, rekan saya langsung mengambil alih posisi presenter.

“Ya, sepertinya akan lebih enak kalau saya yang menjelaskan, daripada memaksa rekan wanita saya ini, karena ini urusan yang agak sensitif,” begitulah kurang lebih pembelaan rekan saya.

Suara penonton kembali bergemuruh. Setelah bertukar posisi, saya pun berusaha menenangkan diri.

Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa disadari lampu kuning sudah menyala, artinya waktu yang tersisa hanya dua menit lagi, tapi saya memprediksi presentasi kami tidak bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang tersisa. Benar saja, presentasi kami berakhir tanpa sempat mengucapkan kata-kata penutup karena lampu merah terlanjur menyala, dan bel tanda berakhirnya jatah waktu presentasi sudah berbunyi. Saya hanya bisa menyalahkan diri saya yang terlalu berlama-lama di bagian pembuka.

Tapi semua itu sudah berlalu. Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan untuk merubahnya. Yang bisa dilakukan saat itu hanyalah berdoa.

Malam itu pun saya lalui dengan melihat rekan kami dari tim lain yang sedang gigih berlatih untuk presentasi. Ada satu hal yang saya syukuri saat itu. Presentasi sudah kami lalui, sehingga malam itu kami bisa agak bersantai. Ya sedikit menikmati malam di pulau dewata.

Yang tersisa adalah pameran poster.

Pameran poster diadakan di sebuah GOR tidak jauh dari kampus tempat PIMNAS dilaksanakan. Ruangannya begitu padat, sehingga ketika tempat pameran dibuka, semua orang berjalan berdesak-desakan di dalamnya. Tidak ada persiapan yang istimewa untuk pameran poster ini, kami beranggapan hanya poster saja yang dipamerkan (maklum, pengalaman pertama). Ternyata pameran poster lebih heboh dari yang saya bayangkan. Alhasil stand kami berdiri dengan begitu sederhana.

Saat yang dinantikan pun tiba. Pengumuman pemenang dilaksanakan di Art Center, tempat yang sama saat kedatangan para peserta disambut dalam Welcome Party. Ribuan orang berkumpul di sana. Suasana begitu menegangkan. Meski tidak berambisi menjadi pemenang, dalam hati kecil tetap saja berharap mendapat sesuatu di sini, yah, minimal juara favorit lah.

Akhirnya, satu persatu pemenang per kategori disebutkan. Awalnya adalah pemenang dari pameran poster. Sayang, poster kami tidak berhasil meraih juara apapun. Suara riuh rendah peserta saat institusinya disebut, begitu meramaikan Art Center malam itu. Lalu berlanjut pada pengumuman pemenang dari kategori presentasi. Sama halnya dengan pameran poster, pengumuman pemenangnya diurut berdasarkan kategorinya. Tim dari ITB memang hanya sedikit, namun tidak sedikit yang membawa pulang medali kemenangan.

Setiap kali tim dari ITB disebut sebagai pemenang, kami yang jumlahnya bahkan tidak sampai 50 orang itu serentak berdiri dan memberikan salam Ganesha terbaik kami. Rasanya bangga sekali bisa meneriakkan salam kebanggaan di hadapan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah itu. Ya, setiap kali memang, kecuali saat tim saya yang dipanggil. Tampaknya saat itu hanya satu rekan saya yang menyadari bahwa kami dipanggil sebagai peraih medali setara perak karena tidak ada satupun dari kami yang berdiri untuk bersiap mengumandangkan salam Ganesha. Yang terdengar hanyalah jeritan kaget dari rekan saya itu, barulah kami semua tersadar, dan tentu saja sudah terlambat untuk memberikan salam Ganesha karena pengumuman sudah berlanjut untuk menyebut nama-nama yang lain. Sayang sekali.

Ketua kelompok menerima piala serta medali
Piala yang berhasil kami bawa pulang

Dari total 6 tim yang lolos ke PIMNAS, ITB mampu memperoleh 4 medali dengan rincian 2 medali emas presentasi, 1 medali perak presentasi dan 1 medali perunggu poster.

Ya, setidaknya kami bisa menyumbang satu dari empat medali itu. Sungguh berkesan, medali dari Bali.

No comments:

Post a Comment

Just let me know that there is a comment here,,