Kisah ini dapat digolongkan dalam cerita-cerita mengenaskan yang pernah ada, meski tidak ada korban terluka secara fisik. Saya sarankan untuk tidak melanjutkan membaca kisah ini jika Anda tidak siap dengan alur cerita yang tidak menyenangkan serta gaya bahasa yang tidak membuat suasana hati nyaman. Saya tidak bertanggung jawab atas perbedaan antara penuturan dalam kisah ini dengan kenyataannya karena kisah ini ditulis hanya berdasarkan apa yang saya dengar dan ketahui. Untuk kisah lebih lengkap dan nyata, Anda dapat menghubungi secara langsung para tokoh di dalamnya.
Segalanya bermula dari sebuah tugas yang diberikan kepada Icha, Yoga, Ian, Halim, Afif, dan Fathy. Mereka berenam adalah etoser (sebutan bagi penerima beastudi Etos) dari Bandung untuk angkatan 2010. Di setiap akhir tahun pertama, para penerima beastudi itu mendapat kesempatan untuk berkumpul dengan rekan-rekan satu angkatannya yang terpisah kota dan perguruan tingginya.
Beruntung. Untuk pertama kalinya pertemuan itu (dikenal sebagai TENs "Temu Etos Nasional") diselenggarakan bukan di Parung, Bogor melainkan di kota pelajar, Yogyakarta.
Dari sekian banyak tugas yang diberikan, saya hanya ingin menyoroti tugas pentas seni mereka saja. Ya, tugas yang mendorong saya menulis kisah ini. Mengharukan.
Dalam tugas ini mereka ingin menampilkan semacam pertunjukan musik dengan berbagai alat. Alhasil, gitar dan galon pun diboyong dari Asrama Ciheulang (tempat asrama putra berada) dengan penuh perjuangan tentunya. Bagaimana tidak. Karena bukan hanya perbekalan normal saja yang harus mereka bawa, tapi ada tambahan satu buah karung besar berisi kaos untuk seluruh panitia dan peserta di sana yang sangat berat hingga untuk menggesernya saja dibutuhkan tenaga yang super duper ekstra.
Singkat cerita, tibalah saat mereka harus tampil untuk pentas seni. Tapi ada masalah yang mereka hadapi di sana. Galon yang semula mereka bawa dalam keadaan kosong itu menjadi penuh terisi air di detik-detik pementasan harus dimulai. Ternyata panitia salah mengira mengenai kepemilikan galon itu. Mau bagaimana lagi, akhirnya mereka harus tampil tanpa galon, teman latihan mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, galon kembali kosong. Dengan sigap, galon pun segera diamankan, mencegah terjadinya kejadian serupa itu.
Di hari keempat, saya bergabung dengan mereka, menyusul seorang diri dengan Lodaya Malam.
Tak terasa, acara TENs itu selesai juga. Kami masih punya waktu setengah hari sebelum jam keberangkatan kereta pulang tiba. Setelah melewati perdebatan yang tidak cukup hebat, akhirnya diputuskan untuk pergi ke Prambanan, lalu mampir Malioboro, sebelum menuju Stasiun Tugu.
Kami lalu bergegas mengepak semua barang bawaan, tak lupa pula gitar dan galon. Karena telah lewat tengah hari dan kami belum makanberat nasi, maka kami putuskan untuk mencari tempat untuk makan siang dulu sebelum menuju shelter TransJogja. Alhasil kami menemukan tempat yang memaksa kami lebih selektif dalam pemilihan menu mengingat isi kantong yang tidak terlalu tebal.
Setelah mengisi perut seadanya, kami pun langsung mobilisasi ke shelter terdekat. Hanya dengan berbekal info bahwa dengan bus TransJogjadan ongkos tiga ribu perak kami dapat sampai ke Prambanan, kami berjalan ke sana. Sesampainya di shelter tentu tak lupa kami memberanikan diri untuk bertanya, setelah memperhatikan ternyata ada banyak jurusan bus yang lewat shelter itu. Dipikir-pikir daripada tersasar lebih baik bertanya dengan memalukan.
Ternyata kita harus berganti bus sebanyak dua kali untuk sampai ke shelter Prambanan. Karena tidak hafal juga nomor jurusannya, kami memutuskan untuk tetap bertanya pada kondektur nanti di setiap pergantian bus. Karcis pun dibeli, lalu kami langsung memenuhi shelter dengan tubuh plus barang bawaan yang heboh, tak lupa pula galon dan gitar yang menyertai kami.
Dengan perjuangan lelah berdiri menunggu di shelter, duduk agak berdesak-desakkan di dalam bus, galon tetap setia bersama kami. Entah apa yang ada di benak penumpang lain, kami tampak tidak peduli, bahkan kami hanyut dalam kegembiraan senda gurau sepanjang perjalanan.
Betapa terkejutnya kami ketika melihat sebuah plang sewaktu tiba di kompleks Candi Prambanan. Plang itu menyatakan bahwa area Candi tutup pukul lima sore dan kami melirik pada arloji yang seolah mengejek dengan menunjukkan bahwa kala itu sudah jam setengah lima sore. Kami pun langsung berlarian menuju loket pembelian karcis. Dengan tergopoh-gopoh kami membayar tiket seharga Rp 22.000,- per orang. Tanpa membuang banyak waktu, namun tetap dengan kondisi tas masih bergelantungan di tubuh kami, begitu pula benda-benda lain memenuhi tangan-tangan kami.
Beruntung, di sana ada tempat penitipan barang. Yah, mungkin memang untuk meminimalkan dampak tangan-tangan jahil terhadap benda-benda di situs bersejarah itu. Alhasil, semua benda yang membebani, kecuali barang berharga dan kamera, kami titipkan pada ibu (yang baik) penjaga tempat penitipan barang itu.
Kami pun tidak mau menyia-nyiakan rupiah yang kami keluarkan untuk masuk kompleks candi ini. Kami segera berkeliling dengan kecepatan ekstra, mengambil gambar dengan kilat, namun sembari tetap menikmati dan mengagumi situs tersebut.
Waktu telah menunjukkan pukul lima, teringat akan segala barang yang dititipkan di tempat penitipan, khawatir ibu penjaga pulang setelah jam kerjanya habis, kami segera berjalan cepat menuju pintu keluar. Tapi tetap tak lupa mencari oleh-oleh dan berfoto ria. Dari kejauhan terlihat tempat penitipan barang sudah ditutup.
[bersambung]
Beruntung. Untuk pertama kalinya pertemuan itu (dikenal sebagai TENs "Temu Etos Nasional") diselenggarakan bukan di Parung, Bogor melainkan di kota pelajar, Yogyakarta.
Dari sekian banyak tugas yang diberikan, saya hanya ingin menyoroti tugas pentas seni mereka saja. Ya, tugas yang mendorong saya menulis kisah ini. Mengharukan.
Dalam tugas ini mereka ingin menampilkan semacam pertunjukan musik dengan berbagai alat. Alhasil, gitar dan galon pun diboyong dari Asrama Ciheulang (tempat asrama putra berada) dengan penuh perjuangan tentunya. Bagaimana tidak. Karena bukan hanya perbekalan normal saja yang harus mereka bawa, tapi ada tambahan satu buah karung besar berisi kaos untuk seluruh panitia dan peserta di sana yang sangat berat hingga untuk menggesernya saja dibutuhkan tenaga yang super duper ekstra.
Singkat cerita, tibalah saat mereka harus tampil untuk pentas seni. Tapi ada masalah yang mereka hadapi di sana. Galon yang semula mereka bawa dalam keadaan kosong itu menjadi penuh terisi air di detik-detik pementasan harus dimulai. Ternyata panitia salah mengira mengenai kepemilikan galon itu. Mau bagaimana lagi, akhirnya mereka harus tampil tanpa galon, teman latihan mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, galon kembali kosong. Dengan sigap, galon pun segera diamankan, mencegah terjadinya kejadian serupa itu.
Di hari keempat, saya bergabung dengan mereka, menyusul seorang diri dengan Lodaya Malam.
Tak terasa, acara TENs itu selesai juga. Kami masih punya waktu setengah hari sebelum jam keberangkatan kereta pulang tiba. Setelah melewati perdebatan yang tidak cukup hebat, akhirnya diputuskan untuk pergi ke Prambanan, lalu mampir Malioboro, sebelum menuju Stasiun Tugu.
Kami lalu bergegas mengepak semua barang bawaan, tak lupa pula gitar dan galon. Karena telah lewat tengah hari dan kami belum makan
Setelah mengisi perut seadanya, kami pun langsung mobilisasi ke shelter terdekat. Hanya dengan berbekal info bahwa dengan bus TransJogja
Ternyata kita harus berganti bus sebanyak dua kali untuk sampai ke shelter Prambanan. Karena tidak hafal juga nomor jurusannya, kami memutuskan untuk tetap bertanya pada kondektur nanti di setiap pergantian bus. Karcis pun dibeli, lalu kami langsung memenuhi shelter dengan tubuh plus barang bawaan yang heboh, tak lupa pula galon dan gitar yang menyertai kami.
Dengan perjuangan lelah berdiri menunggu di shelter, duduk agak berdesak-desakkan di dalam bus, galon tetap setia bersama kami. Entah apa yang ada di benak penumpang lain, kami tampak tidak peduli, bahkan kami hanyut dalam kegembiraan senda gurau sepanjang perjalanan.
Betapa terkejutnya kami ketika melihat sebuah plang sewaktu tiba di kompleks Candi Prambanan. Plang itu menyatakan bahwa area Candi tutup pukul lima sore dan kami melirik pada arloji yang seolah mengejek dengan menunjukkan bahwa kala itu sudah jam setengah lima sore. Kami pun langsung berlarian menuju loket pembelian karcis. Dengan tergopoh-gopoh kami membayar tiket seharga Rp 22.000,- per orang. Tanpa membuang banyak waktu, namun tetap dengan kondisi tas masih bergelantungan di tubuh kami, begitu pula benda-benda lain memenuhi tangan-tangan kami.
Beruntung, di sana ada tempat penitipan barang. Yah, mungkin memang untuk meminimalkan dampak tangan-tangan jahil terhadap benda-benda di situs bersejarah itu. Alhasil, semua benda yang membebani, kecuali barang berharga dan kamera, kami titipkan pada ibu (yang baik) penjaga tempat penitipan barang itu.
Kami pun tidak mau menyia-nyiakan rupiah yang kami keluarkan untuk masuk kompleks candi ini. Kami segera berkeliling dengan kecepatan ekstra, mengambil gambar dengan kilat, namun sembari tetap menikmati dan mengagumi situs tersebut.
Waktu telah menunjukkan pukul lima, teringat akan segala barang yang dititipkan di tempat penitipan, khawatir ibu penjaga pulang setelah jam kerjanya habis, kami segera berjalan cepat menuju pintu keluar. Tapi tetap tak lupa mencari oleh-oleh dan berfoto ria. Dari kejauhan terlihat tempat penitipan barang sudah ditutup.
[bersambung]