Entah mengapa, orang-orang ramai meributkan kata ‘kontribusi’ dan ‘kontribusi’. Aku benar-benar tidak paham, apa sih yang mereka ributkan itu. Karena penasaran, aku pun bertanya pada guruku di sekolah.
“Pak, kontribusi itu apa sih? Mengapa orang-orang ramai meributkan itu?” tanyaku pada pak Soleh, guru IPS-ku di sekolah.
“Wah, ada apa Cecep bertanya seperti itu pada bapak?”
“Kemarin, waktu aku membantu ibu berjualan gorengan di terminal, aku melihat orang-orang sedang membaca koran. Lalu di halaman depannya tertulis kata itu dengan huruf yang besar-besar, Pak. Aku juga mendengar percakapan mereka menyebut-nyebut kata itu. Jadi aku penasaran, mengapa orang-orang itu begitu ramai membicarakannya.”
Mendengar penuturanku yang panjang itu, pak Soleh memanggut-manggutkan kepalanya seraya menjawab, “Kontribusi adalah apa yang bisa kamu berikan, Nak. Misal, kontribusi untuk sekolah, berarti apa yang bisa kamu berikan untuk sekolah. Kontribusi untuk negara, ya, apa yang bisa kamu berikan untuk negara ini, Nak. Nah, sekarang coba pikirkan, apa kontribusimu kepada negara ini?”
Mendengar penjelasan pak Soleh, aku jadi termenung, memikirkan kata ‘kontribusi’ itu, juga memikirkan pertanyaan beliau.
Aku hanyalah seorang anak kelas empat SD. Hidupku juga biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, aku membantu ibuku mengoreng bala-bala dan tahu isi untuk dijajakannya di terminal. Sepulang sekolah, aku langsung menuju terminal untuk membantu ibu menjual habis dagangannya. Kalau sudah habis, barulah aku pulang dan mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Tapi itu pun tidak menentu, kadang pulang di sore hari, kadang pula sampai larut malam baru aku bisa pulang. Kalau pulang sore, berarti hari itu aku sedang beruntung, selain karena dagangan ibuku cepat laku, aku juga bisa lebih awal menyelesaikan tugas-tugasku. Kalau ternyata pulang larut malam, berarti aku harus ekstra terjaga untuk menyelesaikan tugas-tugasku itu.
Begitulah kegiatan keseharianku, tidak ada kata bersantai atau bermalas-malasan. Aku hanya memegang perkataan almarhum ayahku, “Apa yang kamu capai adalah apa yang kamu usahakan.” Tapi apa yang aku punya yang bisa aku berikan untuk negara ini. Aku tidak punya apa-apa, bahkan untuk makan hari besok pun aku tak tahu.
Hari itu, hingga larut malam, aku masih merenungi pertanyaan pak Soleh, guruku itu.
Hari-hari pun berlalu, aku masih belum memahami perkataan guruku itu, hingga akhirnya aku terjebak dalam suatu rutinitas yang membuatku terlupa akan hal itu.
***
Satu bulan berlalu.
Hari ini ada sekelompok mahasiswa datang ke sekolahku. Mereka membawa banyak gulungan poster dan kertas gambar, juga buku-buku dan alat mewarnai. Mereka mengaku berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tapi adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi yang terkemuka di daerahku.
Ternyata mereka datang untuk memberikan pengarahan kepada kami, murid-murid di SD ini, untuk berhemat dalam pemakaian listrik. Mereka menunjukkan poster-poster yang menarik dan membagikannya kepada kami untuk dipajang di rumah kami masing-masing. Mereka juga membagikan gambar-gambar yang bagus untuk diwarnai.
Di akhir kunjungan, mereka memberi kesempatan kepada kami untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka.
“Kak, jadi kalo aku mau berhemat, aku harus memilih antara menonton televisi atau mendengarkan radio. Tidak bisa dua-duanya sekaligus ya Kak?” tanya seorang siswi berkepang dua yang duduk di depan kelas.
“Iya, tentu saja. Kamu kan tidak bisa fokus terhadap dua hal sekaligus. Jadi pilihlah salah satu saja. Itu pun sudah bisa dikatakan sebagai perilaku berhemat,” jawab kakak berjilbab biru.
“Nah, siapa yang mau hidup hemat?” tanya seorang kakak yang berjanggut tipis.
Spontan seisi kelas mengacungkan tangannya, tapi aku ragu-ragu waktu mengangkat tanganku. Sepertinya kakak yang berjanggut itu kebetulan melihat ke arahku dan melihat tanganku yang naik turun tidak yakin. Dia pun menghampiriku dan bertanya, “Hai, Dik. Siapa namamu?”
“Cecep,” jawabku singkat.
“Mmh, Cecep sepertinya ragu-ragu yah waktu mengangkat tangan tadi. Ada apa?”
Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.
“Ayo, katakan saja. Tidak perlu takut ataupun malu, Cep.”
Setelah lama terdiam, akupun memutuskan untuk angkat bicara.
“Begini, Kak. Eh, anu… Jadi, ah…”
“Tidak perlu grogi begitu, Cep. Santai saja.”
“Iya, jadi begini, Kak. Tadi kan Kakak bilang kita bisa berhemat kalau kita memilih salah satu, apakah menonton televisi atau mendengarkan radio saja. Tapi aku tidak punya televisi ataupun radio, Kak. Jadi aku tidak bisa berhemat dong, Kak?”
Kakak berjanggut itu tersenyum mendengar pertanyaanku yang polos itu.
“Apa di rumahmu ada lampunya?”
“Ada Kak, ada empat. Di depan, di kamar, di kamar mandi, sama di dapur.”
“Apakah semua lampu itu selalu dinyalakan?”
“Kalau sudah malam, ya semua lampu dinyalakan Kak. Kan biar tidak gelap.”
“Meski kamar mandi sedang tidak dipakai?”
“Iya.”
“Nah, di situ kamu bisa berhemat Cep.”
“Maksudnya Kak?”
“Iya, kalau memang tidak diperlukan, lampu-lampu itu bisa dimatikan. Misal setelah selesai mempergunakan kamar mandi, atau ketika hendak tidur, kita bisa matikan lampunya.”
“Kak, kan itu hanya lampu. Apa dengan itu saja aku sudah bisa berhemat?”
“Tentu. Karena di sini yang dilihat bukan jenis barangnya, tapi lama penggunaannya. Jadi dengan memperpendek waktu lampu dinyalakan, kamu juga bisa berhemat lho.”
“Tapi Kak, kayaknya hanya sedikit sekali yang bisa aku hemat. Apa ada pengaruhnya ya Kak?”
“Begini ya Cep. Misal kita anggap daya yang dipakai untuk menyalakan lampu kita itu adalah satu bagian. Dengan mematikan satu lampu berarti kita membantu meringankan kerja pembangkit listrik sampai enam kali bagian itu. Nah, bagian-bagian itu bisa disalurkan ke tempat yang lain. Masih ada lho teman-teman yang bahkan di rumahnya tidak ada lampu seperti di rumah Cecep. Itu bisa jadi kontribusi Cecep dalam membantu teman-teman Cecep yang belum bisa merasakan lampu yang menyala di rumahnya. Karena usaha menghemat penggunaan listrik itu lebih mudah daripada membangkitkannya lho.”
Kontribusi? Aku jadi teringat dengan apa yang aku tanyakan pada pak Soleh beberapa waktu yang lalu.
“Kontribusi? Apa dengan itu aku jadi bisa berkontribusi untuk negara ini Kak?” semangatku tiba-tiba menjadi berkobar-kobar.
“Iya, tentu saja,” jawab kakak berjanggut itu dengan yakin.
“Tidak perlu punya baju bagus, rumah gedung, dan mobil mewah, aku tetap bisa berkontribusi?”
“Iya, tentu Cep.”
“Hanya dengan mematikan lampu kamar mandi saja aku bisa berkontribusi?”
“Iya, itu salah satunya. Kalau kamu bisa melakukan hal-hal yang lebih hebat, mengapa tidak. Tapi jangan lupa, banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk membuat suatu perubahan besar.”
“Terima kasih, Kak.”
***
Pak Soleh, sekarang aku tahu jawaban dari pertanyaan bapak waktu itu.
***
#Sebuah kisah sederhana yang diharapkan dapat menumbuhkan inspirasi-inspirasi baru#
Oleh Dita, seorang mahasiswi Teknik Tenaga Listrik,
yang mencoba peduli dengan permasalahan negeri.