Thursday, 23 December 2010

Take time to ...

Take time to THINK. It is the source of power.

Take time to READ. It is the foundation of wisdom.

Take time to QUIET. It is the opportunity to seek God.

Take time to DREAM. It is the future made of.

Take time to PRAY. It is the greatest power on earth.

-author unknown-

Friday, 17 December 2010

Virus Shortcut

Ini saya copy dari file *.txt milik seorang teman... cukup efisien untuk mengatasi gangguan virus yang suka bikin shortcut atas nama folder kita dalam flashdisk. Silakan dicoba...


Buat temen2 yang udah kesel sama VIRUS SHORTCUT:
buka notepad, terus ketik :

echo
del *.lnk
del x.exe
del meidu.exe
del meidux.exe
del ert.dll
attrib -s -h -r /s /d *.*

disave aja jadi "anti-shortcut.bat" di flashdisk yg sering kena virusnya ....
file ini tinggal dibuka kalo semua folder di flashdisk ilang & muncul shortcut2 ga jelas gitu......

Wednesday, 1 December 2010

Abdi neda, ibu ....

Ini adalah kisah saat saya masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Suatu cerita yang menunjukkan bahwa lingkungan memberikan dampak yang lebih besar daripada pelajaran di sekolah. Mungkin detailnya tidak bisa saya ingat karena saat itu saya masih sangat belia. Tapi intisarinya masih bisa saya sampaikan di sini.

Sewaktu duduk di kelas satu sekolah dasar, semua siswa mendapatkan kewajiban untuk belajar bahasa daerah. Alhasil kami semua mendapatkan mata pelajaran bahasa daerah sesuai dengan lokasi sekolah kami berada, yaitu Bahasa Sunda. Minggu-minggu pun dilalui tanpa melewatkan tatap muka dengan guru Bahasa Sunda kami di kelas. Hingga tiba saatnya untuk mengevaluasi hasil belajar kami dengan diadakan ulangan untuk setiap mata pelajaran, ya, termasuk mata pelajaran Bahasa Sunda ini.

Tibalah saat kami menghadapi soal-soal ulangan mata pelajaran Bahasa Sunda. Saya baca satu per satu soal-soal yang ada pada lembaran soal itu. Kebanyakan hanyalah berupa isian pendek, maklum, namanya juga soal ulangan untuk siswa kelas satu sekolah dasar. Perintahnya rata-rata menyuruh untuk melengkapi kalimat-kalimat yang terpotong, salah satunya :
Abdi neda, ibu ...

Sesaat setelah saya membaca soal itu, saya langsung menuliskan apa yang terlintas dalam benak saya. Ya, karena saya pikir soal itu sangat mudah sekali.

Dalam bahasa daerah memang seringkali ada tingkatan yang berbeda-beda dari penggunaan kata. Sehingga perkataan yang ditujukan untuk teman sebaya akan berbeda dengan perkataan yang ditujukan untuk orang yang lebih tua. Nah, begitu pula untuk percakapan dalam bahasa Sunda.

Waktu pun berlalu, hingga tiba saatnya hasil ulangan mata pelajaran Bahasa Sunda kami dibagikan. Saya sangat terkejut melihat lembaran jawaban saya. Saya heran, mengapa soal yang saya anggap mudah itu dicoret dan dinyatakan salah oleh guru saya. Sedih rasanya, namun kesedihan itu tidak saya tunjukan di sekolah.

Setibanya di rumah, saya menceritakan mengenai hasil ulangan saya itu, terutama mengenai soal yang mudah tersebut kepada seluruh penghuni rumah. Namun apa yang saya dapati. Mereka semua malah menertawakan saya, karena yang saya tulis di kertas jawabannya adalah
Abdi neda, ibu dahar

Sudah sewajarnya kalau saya mengisikan kata tersebut di kertas jawaban saya. Ketika itu Saya sering mendengar kata itu ditujukan untuk mbah kakung (sebutan untuk kakek dalam bahasa jawa-red) ketika sedang ditawari makan. Jadi yang ada dalam pikiran saya ketika itu ya kata itulah yang benar sebagai jawaban. Padahal yang sehari-hari saya dengar itu adalah bahasa Jawa, bukan bahasa Sunda.

Iya, dalam bahasa Jawa, kata 'dahar' memang ditujukan untuk orang yang lebih tua, sedangkan dalam bahasa Sunda, kata 'dahar' justru merupakan bahasa yang kasar, bahkan tidak baik dipakai untuk teman sebaya sekalipun. Jadi, karena yang saya ikuti adalah mata pelajaran Bahasa Sunda, jawaban tersebut menjadi tidak tepat.

[masih banyak kata yang memiliki kesamaan lafal dan penulisan namun berbeda maknanya dalam berbagai bahasa, ini hanya salah satu contoh saja. tidak ada maksud membeda-bedakan, karena semua memiliki keunikan masing-masing]

Saturday, 20 November 2010

Aku Juga Punya Peran

Entah mengapa, orang-orang ramai meributkan kata ‘kontribusi’ dan ‘kontribusi’. Aku benar-benar tidak paham, apa sih yang mereka ributkan itu. Karena penasaran, aku pun bertanya pada guruku di sekolah.

“Pak, kontribusi itu apa sih? Mengapa orang-orang ramai meributkan itu?” tanyaku pada pak Soleh, guru IPS-ku di sekolah.

“Wah, ada apa Cecep bertanya seperti itu pada bapak?”

“Kemarin, waktu aku membantu ibu berjualan gorengan di terminal, aku melihat orang-orang sedang membaca koran. Lalu di halaman depannya tertulis kata itu dengan huruf yang besar-besar, Pak. Aku juga mendengar percakapan mereka menyebut-nyebut kata itu. Jadi aku penasaran, mengapa orang-orang itu begitu ramai membicarakannya.”

Mendengar penuturanku yang panjang itu, pak Soleh memanggut-manggutkan kepalanya seraya menjawab, “Kontribusi adalah apa yang bisa kamu berikan, Nak. Misal, kontribusi untuk sekolah, berarti apa yang bisa kamu berikan untuk sekolah. Kontribusi untuk negara, ya, apa yang bisa kamu berikan untuk negara ini, Nak. Nah, sekarang coba pikirkan, apa kontribusimu kepada negara ini?”

Mendengar penjelasan pak Soleh, aku jadi termenung, memikirkan kata ‘kontribusi’ itu, juga memikirkan pertanyaan beliau.

Aku hanyalah seorang anak kelas empat SD. Hidupku juga biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, aku membantu ibuku mengoreng bala-bala dan tahu isi untuk dijajakannya di terminal. Sepulang sekolah, aku langsung menuju terminal untuk membantu ibu menjual habis dagangannya. Kalau sudah habis, barulah aku pulang dan mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Tapi itu pun tidak menentu, kadang pulang di sore hari, kadang pula sampai larut malam baru aku bisa pulang. Kalau pulang sore, berarti hari itu aku sedang beruntung, selain karena dagangan ibuku cepat laku, aku juga bisa lebih awal menyelesaikan tugas-tugasku. Kalau ternyata pulang larut malam, berarti aku harus ekstra terjaga untuk menyelesaikan tugas-tugasku itu.

Begitulah kegiatan keseharianku, tidak ada kata bersantai atau bermalas-malasan. Aku hanya memegang perkataan almarhum ayahku, “Apa yang kamu capai adalah apa yang kamu usahakan.” Tapi apa yang aku punya yang bisa aku berikan untuk negara ini. Aku tidak punya apa-apa, bahkan untuk makan hari besok pun aku tak tahu.

Hari itu, hingga larut malam, aku masih merenungi pertanyaan pak Soleh, guruku itu.
Hari-hari pun berlalu, aku masih belum memahami perkataan guruku itu, hingga akhirnya aku terjebak dalam suatu rutinitas yang membuatku terlupa akan hal itu.

***
Satu bulan berlalu.

Hari ini ada sekelompok mahasiswa datang ke sekolahku. Mereka membawa banyak gulungan poster dan kertas gambar, juga buku-buku dan alat mewarnai. Mereka mengaku berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tapi adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi yang terkemuka di daerahku.

Ternyata mereka datang untuk memberikan pengarahan kepada kami, murid-murid di SD ini, untuk berhemat dalam pemakaian listrik. Mereka menunjukkan poster-poster yang menarik dan membagikannya kepada kami untuk dipajang di rumah kami masing-masing. Mereka juga membagikan gambar-gambar yang bagus untuk diwarnai.

Di akhir kunjungan, mereka memberi kesempatan kepada kami untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka.

“Kak, jadi kalo aku mau berhemat, aku harus memilih antara menonton televisi atau mendengarkan radio. Tidak bisa dua-duanya sekaligus ya Kak?” tanya seorang siswi berkepang dua yang duduk di depan kelas.

“Iya, tentu saja. Kamu kan tidak bisa fokus terhadap dua hal sekaligus. Jadi pilihlah salah satu saja. Itu pun sudah bisa dikatakan sebagai perilaku berhemat,” jawab kakak berjilbab biru.

“Nah, siapa yang mau hidup hemat?” tanya seorang kakak yang berjanggut tipis.

Spontan seisi kelas mengacungkan tangannya, tapi aku ragu-ragu waktu mengangkat tanganku. Sepertinya kakak yang berjanggut itu kebetulan melihat ke arahku dan melihat tanganku yang naik turun tidak yakin. Dia pun menghampiriku dan bertanya, “Hai, Dik. Siapa namamu?”

“Cecep,” jawabku singkat.

“Mmh, Cecep sepertinya ragu-ragu yah waktu mengangkat tangan tadi. Ada apa?”

Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.

“Ayo, katakan saja. Tidak perlu takut ataupun malu, Cep.”

Setelah lama terdiam, akupun memutuskan untuk angkat bicara.

“Begini, Kak. Eh, anu… Jadi, ah…”

“Tidak perlu grogi begitu, Cep. Santai saja.”

“Iya, jadi begini, Kak. Tadi kan Kakak bilang kita bisa berhemat kalau kita memilih salah satu, apakah menonton televisi atau mendengarkan radio saja. Tapi aku tidak punya televisi ataupun radio, Kak. Jadi aku tidak bisa berhemat dong, Kak?”

Kakak berjanggut itu tersenyum mendengar pertanyaanku yang polos itu.

“Apa di rumahmu ada lampunya?”

“Ada Kak, ada empat. Di depan, di kamar, di kamar mandi, sama di dapur.”

“Apakah semua lampu itu selalu dinyalakan?”

“Kalau sudah malam, ya semua lampu dinyalakan Kak. Kan biar tidak gelap.”

“Meski kamar mandi sedang tidak dipakai?”

“Iya.”

“Nah, di situ kamu bisa berhemat Cep.”

“Maksudnya Kak?”

“Iya, kalau memang tidak diperlukan, lampu-lampu itu bisa dimatikan. Misal setelah selesai mempergunakan kamar mandi, atau ketika hendak tidur, kita bisa matikan lampunya.”

“Kak, kan itu hanya lampu. Apa dengan itu saja aku sudah bisa berhemat?”

“Tentu. Karena di sini yang dilihat bukan jenis barangnya, tapi lama penggunaannya. Jadi dengan memperpendek waktu lampu dinyalakan, kamu juga bisa berhemat lho.”

“Tapi Kak, kayaknya hanya sedikit sekali yang bisa aku hemat. Apa ada pengaruhnya ya Kak?”

“Begini ya Cep. Misal kita anggap daya yang dipakai untuk menyalakan lampu kita itu adalah satu bagian. Dengan mematikan satu lampu berarti kita membantu meringankan kerja pembangkit listrik sampai enam kali bagian itu. Nah, bagian-bagian itu bisa disalurkan ke tempat yang lain. Masih ada lho teman-teman yang bahkan di rumahnya tidak ada lampu seperti di rumah Cecep. Itu bisa jadi kontribusi Cecep dalam membantu teman-teman Cecep yang belum bisa merasakan lampu yang menyala di rumahnya. Karena usaha menghemat penggunaan listrik itu lebih mudah daripada membangkitkannya lho.”

Kontribusi? Aku jadi teringat dengan apa yang aku tanyakan pada pak Soleh beberapa waktu yang lalu.

“Kontribusi? Apa dengan itu aku jadi bisa berkontribusi untuk negara ini Kak?” semangatku tiba-tiba menjadi berkobar-kobar.

“Iya, tentu saja,” jawab kakak berjanggut itu dengan yakin.

“Tidak perlu punya baju bagus, rumah gedung, dan mobil mewah, aku tetap bisa berkontribusi?”

“Iya, tentu Cep.”

“Hanya dengan mematikan lampu kamar mandi saja aku bisa berkontribusi?”

“Iya, itu salah satunya. Kalau kamu bisa melakukan hal-hal yang lebih hebat, mengapa tidak. Tapi jangan lupa, banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk membuat suatu perubahan besar.”

“Terima kasih, Kak.”

***
Pak Soleh, sekarang aku tahu jawaban dari pertanyaan bapak waktu itu.

***

#Sebuah kisah sederhana yang diharapkan dapat menumbuhkan inspirasi-inspirasi baru#


Oleh Dita, seorang mahasiswi Teknik Tenaga Listrik,
yang mencoba peduli dengan permasalahan negeri.

Monday, 11 October 2010

Kunci hilang? Harap Waspada!

~ Kehilangan kunci pintu depan bukanlah suatu hal yang mustahil. Namun, berbahayakah jika hal tersebut terjadi? ~

Pagi ini sebuah tragedi terjadi. Sekitar pukul 6.30 ada yang membuka kunci pintu depan dari arah luar. Spontan kawan saya yang sedang berada di lantai satu melontarkan pertanyaan, "Siapa?" Tapi tidak ada jawaban. Ketika kawan saya itu melihat ke arah luar lewat pantulan cermin di ruang tamu, begitu terperanjatnya dia karena yang dia lihat bukanlah salah satu penghuni dari rumah kami (toh, semua orang memang masih ada di rumah) tapi seorang pemuda tanggung yang hendak berusaha masuk ke dalam rumah kami. Dia pun langsung memasang kunci selot dari dalam guna mencegah pemuda itu masuk ke rumah kami karena di saat yang bersamaan sang pemuda itu berusaha masuk dengan membuka pintu depan itu. Kontan setelah sang pemuda sadar bahwa di dalam ada orang, dia langsung pergi dan kami yang berada di dalam hanya bisa mendengar suara mesin motor yang mengeleos pergi.

Deduksi awal kami tentu bermula dari beberapa kunci pintu depan yang hilang (karena memang digandakan sesuai dengan jumlah penghuninya). Kami hanya bisa membayangkan bahwa mungkin saja kunci tersebut terjatuh, dan ada yang memungut lalu mencoba-coba ke setiap pintu-pintu, apakah ada yang cocok dengan kunci itu, seperti kisah pangeran yang mencari Cinderella dengan mencocokkan sepatu kacanya.

Tentu hingga saat ini perasaan waswas pada diri kami belum jua hilang, karena peristiwa pagi ini bisa saja terulang kembali tanpa ada satu pun di antara kami yang menyadari. Kami hanya bisa berdoa semoga tidak ada hal yang tidak mengenakan terjadi pada rumah kami (beserta isinya) dan mengusahakan pengamanan yang lebih baik (mungkin dengan mengganti kunci).

Pelajaran untuk kita semua, jangan sampai kita lalai menjaga hal-hal yang penting, misal kunci pintu depan rumah kita.

Lokasi kejadian : Jl.Cisitu Baru, Dago, Bandung

Wednesday, 6 October 2010

[Bukan Dunia Kamu]

Itu bukan duniamu
Kamu tak pantas berada disana
Karena mereka hanya menjebakmu
Dalam kebahagian yang semu

Ketika aku berusaha menarikmu
Hanya penat yang kudapat
Tak ada maju barang setapak
Dari tempatmu sekarang berpijak

Letih aku bersedih
Melihatmu kembali berjalan tertatih-tatih

Atau kamu hendak mencoba berjalan dengan kedua tanganmu?
Bukan lagi dengan kedua kakimu?

Itu sama saja menyalahi takdir
Tidak ada yang patut disesali

Aku hanya ingin kamu tegak berdiri
Dengan kakimu sendiri
Tidak terbawa arus pusaran
Tidak pula terhanyut ombak

Aku hanya ingin kita bersama lagi
Berpijak di dunia kita ini
Bersama menangis
Dan tertawa lagi

Ingatlah kamu tidak sendiri
Masih ada aku disini
Yang tidak akan lelah menanti
Hingga dirimu kembali

[Penantian]

Andai kau jauh dariku
Aku tetap diam menunggu
Andai kau ada di sampingku
Aku pura-pura tidak tahu
Dan tetap akan menunggu

Mungkin menanti membuat orang letih
Tapi ini yang membuatku tidak berpaling
Jadi jangan halangi diri ini untuk terus menanti

Walau lelah telah mencapai batas
Aku tidak akan menyerah
Akan terus kunanti
Dirimu di sini

Monday, 12 April 2010

Ditinggal Dua Menit, Satu Ponsel Hilang

Sungguh tidak dapat diduga, tidak pula dapat diterka.

Hanya ditinggal barang dua menit saja, satu ponsel raib diambil maling.

Malang nian nasib kawan saya yang satu ini. Ketika detik-detik dilaluinya dengan belajar, guna menghadapi ujian tengah semester, dia harus merelakan ponselnya dicuri.

Beginilah kisahnya...

Pagi itu, sekitar pukul delapan, kawan saya masih saja berkutat dengan buku-buku dan kertas-kertas latihan soalnya. Dengan menggelar karpet di ruang tamu di lantai satu, dia tenggelam dalam semua kesibukan itu. Kawan saya yang lain sedang asyik sendiri di kamarnya (yang juga berada di lantai satu) mempersiapkan praktikumnya yang akan dilaksanakan pada siang hari. Sedangkan kawan saya yang satu lagi (yang kamarnya ada di lantai satu juga) beranjak menuju kamar mandi di lantai dua untuk membersihkan diri. Sedangkan saya malah terjebak dalam candu membaca komik di lantai dua bersama kawan saya yang lain lagi.

Lalu mulai beranjaklah sang kawan saya yang sedang asyik belajar itu ke kamarnya yang berada di lantai dua dengan meninggalkan barang-barangnya masih berserakan di atas karpet. Sepertinya ada hal yang perlu dilakukannya di kamar atau ada yang perlu diambilnya. Namun itu tidak lama, mungkin hanya dua menit saja. Dia pun kembali ke lantai satu dan mendapati bahwa baru saja ada yang menutup pintu depan dan meninggalkannya dalam kondisi sedikit terbuka. Tentu saja tidak seperti keadaan saat dia meninggalkan lantai satu tadi. Lalu dia pun akhirnya menyadari. Ada yang hilang. Ponselnya tidak lagi tergolek di tempat tadi dia tinggalkan.

Ya, sesungguhnya apa-apa yang ada pada diri kita hanyalah titipan semata sehingga bila SANG PEMILIK menghendaki bukan kita lagi yang memegangnya berarti kita memang harus ikhlas menerimanya. Berat memang, tapi yakinlah bahwa kita mampu melakukannya.

Semoga ALLAH menggantinya dengan hal yang lebih baik, ya sahabat.
SEMANGAT!!!

(mohon maaf bila ada ketidaksesuaian dengan kondisi realnya, saya hanya membuat sedikit kesimpulan dari cerita yang dikisahkan oleh kawan saya yang lain, saya belum mendengar kisah tersebut secara langsung dari kawan saya yang kehilangan ponsel tersebut)

Kisah ini nyata kawan. Harap tingkatkan kewaspadaan kita semua. Karena ini bukanlah kali pertama terjadi di tempat kami.

Lokasi kejadian : Jl.Cisitu Baru, Dago, Bandung